Iklan

Iklan

Menggali Kesejatian (4)

04 Maret 2025, 9:30 AM WIB Last Updated 2025-03-04T01:30:53Z


Hamdan Juhannis Rektor UIN Alauddin Makassar

Keberagamaan Digital


Anda sering menggunakan alat saat bertasbih? Atau anda sudah terbiasa menggunakan garis-garis pada jari-jari tangan anda? Saya mencoba mengulas pola beragama kita seiring dengan arus digitalisasi saat ini. Saya ingin menegaskan bahwa derasnya arus digitalisasi berdampak pada perubahan perilaku kita dalam beragama. 


Mari mencermati pada cara kita bertasbih. Awalnya kita sering menggunakan jari-jari tangan. Setelah itu ditemukanlah biji tasbih. Biji tasbih menjadi sangat populer dipakai oleh masyarakat Muslim sampai saat ini. Rata-rata biji tasbih itu berjumlah 99 butir. Belakangan ada yang memendekkan bentangannya menjadi 33 saja, lebih mudah dibawa dan dimasukkan ke kantong. Jenis biji yang dipakai juga beragam yang berdampak pada harganya.


Seiring dengan perubahan waktu, sistem penomoran berkembang pesat, lahirlah mesin tasbih yang berbentuk bulat kecil yang isinya berupa susunan angka-angka yang bisa menghasilkan jumlah ribuan. Saya sangat takjub, saat pertama kali melihat seorang jemaah memakainya di masjid. Ketakjuban saya adalah betapa nyamannya orang itu menghitung tasbih yang telah diucapkannya dalam sehari. 


Cukup kentara juga kalau jemaah itu bertasbih, karena kedengaran bunyi gesekan pergantian nomornya setiap dia memencet. Saya pernah naik pesawat bersama teman yang bertasbih dengan memakai mesin tasbih seperti itu, saya agak mengeluh karena bunyi tindisannya membuat saya susah tidur di pesawat, ditambah lagi tidak begitu pintar tidur dengan cara duduk. Belakangan saya tahu alat itu bukan hanya untuk bertasbih karena pramugari di salah satu perusahaan pesawat terbang menggunakan alat sejenis itu untuk menghitung penumpang.  
 

Era digital yang menyapa kita, rupanya berdampak pada lahirnya tasbih digital. Produsen tasbih menciptakan tasbih yang kecil seperti cincin, yang cukup dimasukkan ke dalam jari telunjuk dan jari jempol menindis tombolnya untuk memunculkan dan merubah angka-angka digital. Tidak ada lagi suara-suara yang ditimbulkan seperti mesin tasbih sebelumnya. 


Saya juga sempat tertarik membelinya dan memakainya. Terasa sangat praktis dan ringan karena kecil dan harganya sangat murah. Penyesuaian kebutuhan konsumen juga begitu cepat. Contohnya, karena untuk menghitung berapa jumlah shalawat yang sudah dibaca, harus mengecek nomor, sementara kita melakukannya di malam hari yang gelap. Rupanya produsen membaca itu, lalu dimasukkanlah lampu dengan tombol yang bisa dipencet untuk menerangi angka-angka digital setiap kita mau mengeceknya. 


Belakangan, hampir setiap saat melihat bapak-bapak dan ibu-ibu khususnya dari Muslim kelas menengah menggunakan tasbih yang persis seperti cincin benaran yang agak tebal, bahannya juga sangat mewah, bukan lagi seperti tasbih digital yang terbuat dari plastik.  


Tapi sudah lama saya berhenti memakai tasbih digital, masalah utamanya selalu hilang atau lupa di mana saya menaruhya karena wujudnya kecil. Dan sejujurnya saya terbuka kepada pembaca, memakai tasbih digital tidak "se-syahdu" rasanya dibanding menggunakan tasbih biji yang sejak dahulu sudah dikenal.  


Apakah itu hanya perasaan subyektif saya atau anda juga mengalaminya? Apakah tasbih biji itu membentuk identitas karena sudah menjadi bagian dari memori kolektif umat Islam bahwa tasbih biji adalah alat zikir yang dipandang islami? Saya mau melanjutkan membahas pola beragama yang lain yang terdampak dari digitalisasi, tapi saya ingin "bereskan" terlebih dahulu dengan pembaca tentang tanda tanya saya di atas.

Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Komentar

Tampilkan

  • Menggali Kesejatian (4)
  • 0

Terkini

Iklan