*Rekayasa Kehebatan*
Saya suka tertawa sendiri kalau mengingat beberapa kesempatan sebelum shalat berjamaah. Adalah teman saya, Prof. Andi Aderus, selalu mendorong saya jadi imam saat shalat berjamaah dengannya pada situasi tertentu. Setidaknya sudah dua kali dia melakukan itu ke saya.
Pertama, saat shalat di Masjid Istiqlal. Ma'mumnya adalah dia, dan Pak Ali, staf saya. Yang kedua adalah ketika shalat di Masjid Istana Negara, Baiturrahim. Ma'mumnya adalah dia bersama beberapa orang yang terlambat mengikut shalat berjamaah.
Saya penasaran karena secara kapasitas dan persyaratan umum untuk menjadi Imam, dialah yang jauh memenuhi syarat dibanding saya. Dia alumni dari Arab, bacaannya lebih fasih, hafalannya lebih banyak, dan pemahaman keagamaannya lebih bagus.
Akhirnya saya tahu motifnya. Dia menyebarkan kepada teman-teman lain di kampus dan di kampung, bahwa saya sudah pernah jadi Imam di Masjid Istiqlal. Saya juga sudah jadi Imam di Masjid Istana. Saat dia ceritakan pada salah seorang teman yang sama-sama petugas haji tahun lalu, teman itu menimpali bahwa saya juga sudah jadi muadzin di tanah suci dan Imam di Masjid Haram. Situasinya sama seperti yang saya gambarkan di atas.
Kenapa saya tertawa, saya memahami bahwa teman saya ingin melekatkan sebuah identitas pada saya. Sebuah "pride" yang berefek pada pengakuan orang pada saya. Itu sebenarnya bagian dari cara teman saya meramu humor saat jalan bersama.
Kenapa menjadi menarik bagi saya, karena kelucuannya. Lucunya ada pada image yang ditimbulkannya. Pertama, kami sadar secara kolektif bahwa bukan kelas saya untuk menjadi Imam di Masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Kedua, menjadi Imam di Masjid Istana negara, tentu juga menjadi kebanggaan dan hanya orang dengan kapasitas tertentu yang bisa ditunjuk.
Meskipun hanya lucu-lucuan, tapi itu penggambaran bagaimana persepsi tentang kehebatan itu dibentuk. Pertama, membesarkan scope tempat kejadian. Istiqlal dan Istana Negara dua tempat yang mewakili kebesaran. Kalau saya bisa imam di dunia tempat itu, artinya saya orang besar.
Kedua, harus ada orang yang siap menyebarkan bagaimana peristiwa kebesaran itu terjadi. Ini penting karena pengakuan bisa terjadi kalau kebesaran seseorang itu masuk dalam kesadaran bersama banyak orang.
Ketiga, ada ruang untuk mencocokkan peristiwa itu dengan kapasitas orang yang dibesar-besarkan. Kapan ruang itu sama sekali tidak ada, maka cerita membesar-besarkan kehebatan seseorang hanya akan berwujud sebagai bualan.
Jadi orang bisa disebut sebagai hebat, besar, jago, langka, atau super, melalui tiga proses itu. Kalau seseorang itu memang memiliki kepasitas untuk hebat, proses kejadiannya berjalan alamiah tanpa rekayasa. Namun banyak kasus memaksakan diri menjadi besar tapi ternyata kualitasnya "kacangan" maka rekayasa itu dibutuhkan.
Menjadi hebat itu menyenangkan karena melahirkan pengakuan. Namun memang kita harus hati-hati karena merasa hebat itu jalan utama menuju keangkuhan. Atau mungkin, merasa hebat dan angkuh adalah dua sisi dari sebuah koin. Tapi rekayasa kehebatan seperti teman saya tidak ubahnya mencandai kekerdilan diri. Daripada sedih karena tidak bisa menjadi orang hebat, mending menertawai ketidakmampuan.
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin