*Beragama vs Agamis*
Adalah Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi kampus kami, Prof. Rasyid Masri, yang ditunggu-tunggu menyampaikan kultumnya, karena dia memimpin fakultas yang memproduksi banyak pendakwah kaliber. Kultumnya tentang agama dan kesemrautan sosial.
Dia memulai mengutip pandangan dari pemikir anti agama, bahwa agama berkontribusi terhadap munculnya keterbelakangan. Sambil mengutip pemikir itu, dia mengatakan bahwa lihatlah negara-negara yang berhasil menjadi negara maju, semua terlepas dari pengaruh agama. Sebaliknya, negara-negara yang menjadikan agama sebagai pandangan hidupnya, seperti negara-negara Asia hampir semua mengalami keterbelakangan.
Prof Rasyid juga mengutip pandangan pemikir anti agama bahwa konflik horizontal yang mendera masyarakat karena pengaruh agama. Dia mencontohkan pandangan seperti itu dengan melihat begitu gampangnya penganut agama dimobilisasi untuk kepentingan politik. Itulah, banyak negara dengan penganut agama fanatik sering terlibat pada konflik dengan penganut agama lain secara berdarah-darah.
Prof. Rasyid mencoba menjelaskan bahwa pemaparan di atas adalah penyederhanaan terhadap fakta yang sesungguhnya terjadi. Menurutnya semua agama berorientasi pada kedamaian. Secara harfiah saja agama bermakna "tidak kacau." Jadi tujuan orang beragama adalah untuk meniti ketenteraman hidup.
Lalu mengapa orang-orang beragama sering terlibat dalam kekacauan prilaku. Kenapa negara di mana agama terinstitusi menjadi bagian penting dari negara tidak menjadi contoh bagi kemajuan kehidupan seperti yang ditunjukkan oleh negara-negara yang menjadikan agama sebagai urusan pribadi.
Prof Rasyid menjelaskan bahwa aspek transenden agama terdistorsi dalam kehidupan nyata penganut agama (beragama secara simbolik). Penganut agama sering gagal menerjemahkan ajaran ketatakelolaan dan kemajuan dari agama yang dianutnya (menjadi agamis). Ajaran eskatologis tentang syurga didistorsi untuk orang yang memperjuangkan kebenaran sebatas ajaran yang bersifat parsial, kelompok, atau bahkan individual.
Ajaran tentang orang yang berbuat untuk kehidupan, penemuan-penemuan, amal jariyah teknologi hampir tidak tersentuh.
Spritualitas masyarakat agama hanya berpusat di rumah-rumah ibadah, padahal pemaknaannya pada berbagai sendi yang menopang kehidupan yang dimaknai sebagai amal jariyah kurang tereksplorasi.
Itulah mungkin yang dikritisi oleh seorang penceramah kondang, Kyai Azhar Tumenggung, yang sempat saya ikuti ceramahnya kemarin malam. Dia menyoroti kebanyakan cara umat Islam memaknai waqaf yang hanya tertuju pada membangun masjid semata. Padahal waqaf hasil usaha untuk memakmurkan masjid untuk saat ini jauh lebih penting.
Menurutnya, tidak mengherangkan, mengapa sering terjadi di berbagai tempat, ada dua masjid besar berdiri berdampingan. Mengapa bukan dana yang satu dipakai untuk memakmurkan masjid yang sudah dibangun. Jadi poinnya adalah bukan sekadar beragama tetapi nilai keberagamaan.
Prof Rasyid sebenarnya melakukan otokritik pada dirinya sebagai penganut agama. Tapi apapun itu, dirinya bergerak sebagai akademisi yang juga dikenal sebagai pebisnis. Mungkin itu caranya untuk menjadi "best practise" bahwa menjadi penganut agama yang tidak identik dengan keterbelakangan.
Sayangnya Prof. Rasyid tidak mengutip pandangan ahli lain, bahwa ternyata kemajuan Jepang itu salah satu faktornya karena penetrasi ajaran agama tradisionil ke dalam jiwa mereka, bahwa kerja keras itu adalah ibadah. Bukan seperti kesimpulan menyesatkan dari sebuah premis, "tidur adalah pahala, kerja adalah pahala, dan tidur di tempat kerja dua kali lipat pahalanya."
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin