Iklan

Iklan

Menggali Kesejatian (20)

20 Maret 2025, 9:42 AM WIB Last Updated 2025-03-20T01:42:40Z

Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin



*Teosentris VS Antroposentris*

"Mana yang lebih mulia, setiap tahun naik umrah atau biaya umrah itu diberikan kepada mahasiswa yang kurang mampu?" Pertanyaan ini saya sari dari isi kultum seorang kawan, Prof. Amrih Tajuddin, Wakil Rektor di kampus kami. Syukur juga bisa mengikuti ceramah inspiratif dari kawan-kawan yang memang banyak menekuni dunia dakwah. Pertanyaan di atas diajukan sehubungan dengan issu yang dibahas yaitu terbelahnya pandangan para pengkaji tentang cara menafsir ayat-ayat Qur'an.

Menurutnya ada ragam pandangan para pengkaji dalam menelaah isi Qur'an. Ada yang melihatnya bahwa Qur'an itu adalah kitab suci yang bersifat teosentris, kitab yang berfokus pada Tuhan pecipta. Ada juga yang mencermatinya sebagai kitab suci yang bersifat antroposentris, kitab yang berfokus membahas tentang manusia sebagai pusat alam semesta. 

Menurut penceramah, dua paham ini berdampak pada lakon umat Islam dalam mempersepsi ajarannya. Menurutnya, masyarakat yang banyak terdampak pada paham teosentris, lebih kepada penguatan "hablunminallah" sementara pada mereka yang terdampak pada antroposentris lebih tertarik pada penguatan "hablunminannas".

Menurut penceramah, yang berfokus pada yang pertama, lebih banyak menghabiskan waktu untuk pemenuhan ketenangan dengan banyak menservis dirinya dengan kegiatan ibadah individual. Sementara yang berfokus pada yang kedua merasa tenang bila banyak berbuat untuk kemanusiaan. 

Penceramah mengajukan pertanyaan di atas karena pilihan itu akan mencerminkan bahwa seorang Muslim lebih beratnya ke mana. Ketika mengajukan pertanyaan itu, saya membaca respon dari ratusan jamaah yang hampir saja bertepuk tangan sekiranya mereka tidak berada di masjid, bahwa seharusnya lebih baik biaya umrah itu dialihkan saja kepada mahasiswa yang kurang mampu.

Penceramah menyampaikan bahwa untuk menjadi Muslim paripurna memang harus ada keseimbangan hubungan ke Tuhan dan hubungan pada sesama. Namun menurutnya, keseimbangan itu tidak bisa diterjemahkan secara "clear-cut" dan "letterlek" atau secara harfiah, karena bila memperkuat aspek habluminannas berupa pemberian beasiswa yang berdampak pada amal jariyah itu juga larinya kepada ridho Tuhan, hablunminallah. Demikian juga orang yang rajin umrah yang dilihat sebagai ibadah untuk habluniminallah bisa saja mengambil hikmah kesetaraan yang berdampak pada penguatan hablunminnas. 

Andai saya penceramahnya mungkin saya mengatakan bahwa yang lebih mulia antara umrah atau beasiswa tergantung konteks dan kondisi di mana pertanyaan itu dimunculkan. Kalau di negara sejahtera, pertanyaan itu tidak relevan karena pasti tidak banyak anak yang kesulitan uang kuliah. Ternyata juga ada fakta lain, yang rajin umrah itu juga sering rajin menyumbang. Tapi yang belum sering kedengaran, bapak atau ibu itu menunda umrahnya tahun ini karena biaya umrah dialihkan kepada 30 mahasiswa kurang mampu untuk membayar SPPnya. Kalau ada yang tunjukkan saya orang yang melakukan seperti ini, saya akan tepuk tangan sekarang.

Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin

Komentar

Tampilkan

  • Menggali Kesejatian (20)
  • 0

Terkini

Iklan