Iklan

Iklan

Menggali Kesejatian (19)

19 Maret 2025, 8:54 AM WIB Last Updated 2025-03-19T00:54:22Z

Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddim



*Terkikisnya Tradisi Khataman*


Masih tentang khataman Qur'an. Rupanya ada tradisi masyarakat Muslim selama ini yang bisa dianggap sebagai cara mempertahankan kemampuan membaca Qur'an di Masyarakat.

Pada setiap hajatan pernikahan, malam menjelang pernikahan kedua mempelai dilakukan sebuah proses "mappanre temme", bahasa lokal yang berarti khataman Qur'an. Caranya penghulu memimpin penamatan dengan memandu calon mempelai untuk menamatkan Qur'an dengan membaca surat-surat pendek yang biasanya dimulai dari Surat ad-Dhuha. Meskipun khatamannya secara simbolis, tetapi sudah cukup menjadi ukuran bahwa calon pengantinnya memiliki kemampuan mengaji.

Tradisi khataman ini memiliki beberapa makna. Pertama, bahwa siapa saja yang ingin memasuki kehidupan berkeluarga wajib bisa membaca Qur'an. Kehidupan berkeluarga akan menjadi kehidupan baru yang memiliki tantangan dan mengaji bisa menjadi penenang dari segala dinamika yang dihadapi. 

Kedua, khatam ini menjadi ukuran kesiapan bagi kedua mempelai untuk mengambil tanggung-jawab membumikan Qur'an dalam kehidupan berkeluarga. Tradisi ini akan memastikan bahwa calon suami mampu menjadi imam shalat dalam keluarga, dan calon isteri akan mampu mengajar anak-anaknya kelak untuk belajar mengaji.

Ketiga, makna simbolis dari khataman ini adalah kedua mempelai sudah siap memegang tanggung jawab penuh karena khataman bermakna tamatnya pembacaan tentang kitab yang menjadi pedoman hidup, kitab yang menjadi referensi dalam berperilaku, kitab yang menjadi penuntun dalam mengarungi segala dinamika.

Sayangnya, tradisi khataman ini sudah mulai mengalami pelemahaman dalam prakteknya. Tradisi ini sudah diadaptasi yang membuatnya menjauh dari keaslian pesannya. Khataman terkadang hanya menjadi aksesoris belaka. Cara khataman cukup penghulu yang mengaji dan calon mempelai hanya mengikutinya sambil menunjuk tulisan yang dibaca. Karena pernah terjadi, lain yang dibaca penghulu, lain pula yang ditunjuk oleh pengantin. Jadi penghulu memegang tangan calon pengantinnya kalau ada gejala tunjukannya akan bergerak secara liar, tidak mengikuti bacaan.

Bahkan tradisi khataman ini cenderung sudah tidak terdengar pada banyak masyarakat Muslim. Kenapa terjadi "dekristalisasi" tradisi yang sebenarnya sudah berakar? Mungkin menjawabnya adalah bertemunya beberapa pendangkalan tentang makna tradisi itu. Tradisi khataman tidak lagi mengikat sebagai prosesi penting menuju ke pelaminan. Prosesi ini tidak lagi dianggap "sakral". Dampaknya, otoritas imam atau penghulu juga mengalami pelemahan seiring dengan bergeraknya waktu. Lebih jauh, calon mempelai tidak lagi menjadikan kelancaran mengaji sebagai prasyarat untuk menikah, atau bukan lagi sebagai "beban".

Bagaimana menghidupkan kembali tradisi suci ini ke dalam bentuk aslinya? Tidak ada pilihan lain kecuali memastikan anak-anak kita bisa mengaji dan khatam dengan sesungguhnya. Karena kapan mengembalikan tradisi tanpa kekuatan fondasi, hasilnya bukan "kawin lari" tapi "pengantin lari" dari prosesi khataman.

Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddim
Komentar

Tampilkan

  • Menggali Kesejatian (19)
  • 0

Terkini

Iklan