Iklan

Iklan

Menggali Kesejatian (16)

16 Maret 2025, 2:54 PM WIB Last Updated 2025-03-16T06:54:55Z

Hamdan Juhannis,Rektor UIN Alauddin



*Kesombongan Numerik Part 2*


 Pada coretan sebelumnya, saya mengakhiri ulasan tentang jenis-jenis kesombongan dengan kalimat, "saatnya saya harus mengaji, syukur-syukur saya bisa tamatkan bacaan saya hari ini, harapannya bisa tamat 10 kali."

Rupanya bagian akhir tulisan saya ini mengundang banyak tanggapan. Ada yang menanggapi dengan kritik langsung bahwa saya mengurai kesombongan tapi pada saat yang sama menunjukkan kesombongan. Beberapa yang lain mengeritik secara tidak langsung dengan cara bertanya bahwa bagian terakhir itu jenis kesombongan apa. Saya mengapresiasi tanggapan tersebut karena itu pertanda mereka menelaah tulisan saya secara saksama. 

Pada kalimat terakhir yang saya beri tanda kutip, saya maksudkan sebagai kalimat yang perlu ditafsir, dan saya jadikan sebagai judul tulisan. Saya ingin mengajak pembaca untuk menafsirkannya sekaligus menjadi sebuah "trick" tulisan, biar sedikit berwarna dan membuat tulisan terkesan "ada-ada saja". 

Kalimat terakhir itu betul contoh kesombongan tetapi bukan saya. Mohon ampun itu bukan kualitas saya. Saya sekarang masih berjibaku untuk melanjutkan bacaan Qur'an saya. Bahkan jumlah juz bacaan saya terlambat dari jumlah hari puasa yang sudah dilalui.

Contoh kalimat yang saya beri tanda kutip itu adalah salah satu jenis kesombongan yang saya istilahkan kesombongan numerik, kesombongan bersifat angka. Mungkin juga bisa disebut sebagai kesombongan kuantitatif. Orang dengan jenis kesombongan ini secara tanpa sadar bisa melanda siapa saja. Caranya saat berbicara, dia menyodorkan angka-angka yang menunjukkan pengulangan tentang kehebatan. Misalnya, sering menyebarkan bahwa setiap Ramadan bisa tamat bacaannya 10 kali, sudah umrah 20 kali, shalat malamnya ninimal 11 rakaat tiap malam. 

Selain yang terkait dengan peribadatan, kesombongan numerik juga terkait dengan kehidupan sosial, misalnya kesukaan memamerkan jumlah tas mewah, suka menceritakan frekuensi jalan-jalannya, suka menyebutkan nama-nama hotel mewah tempat menginapnya, atau nama-nama restoran mewah tempat makan-makannya. 

Menurutku, di antara cara manusia mempraktekkan kesombongan, kesombongan numerik inilah yang paling sering terjadi dan berlangsung di bawah sadar. Karena jenis kesombongan ini lebih memainkan simbol atau identitas. Bukankah kesombongan itu tujuannya untuk menancapkan identitas diri dengan tujuan merendahkan orang lain. 

Terakhir, mengontrol kesombongan butuh ikhtiar kuat. Kata penyair kenamaan, Kyai Zawawi Imran, "memberi petunjuk untuk tidak sombong itu mudah, tetapi yang memberi dan diberi petunjuk sama kesulitan untuk mewujudkannya." Karena dalam kesombongan itu bercokol perilaku yang bersifat paradoksal. Bisa saja seseorang memperlihatkan kerendahan hati, padahal di dalam hatinya bercokol ketinggian hati, merasa puas memamerkan keunggulan personal sebagai yang paling tawadhu dibanding orang-orang lain di sekitarnya. 

Persis kasus seorang pria paruh baya yang mengatakan kepada mahasiwa KKN di sebuah kampung. Katanya, hanya dua pemberani di kampung ini. Bertanya mahasiswa, siapa dua itu Pak? Pria itu mengatakan, yang satunya pergi merantau. Yang satunya Pak? Pria itu menjawab: "Kata orang saya sih, tapi bukan saya yang bilang yah".


Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin
Komentar

Tampilkan

  • Menggali Kesejatian (16)
  • 0

Terkini

Iklan