Anda pasti menunggu hadirnya coretan Ramadan saya kan? Kalau pertanyaan ini serius, itu sudah pasti diakibatkan oleh sebuah penyakit yang disebut: GR (Gede Rasa), atau pengidapnya merasa hebat, merasa tulisannya dibutuhkan oleh pembaca.
Jelasnya, saya tidak GR, karena saya yakin anda tidak menunggu tulisan saya. Saya yang menunggu momentum Ramadan ini untuk mencoret tulisan berseri. Saya yang mengharapkan anda memplototi coretan saya, atau paling tidak melihat sepintas atau membaca judulnya, atau sudah syukur kelihatan di group bahwa anda sudah membukanya.
Mungkin juga anda tidak sadar saya menulis lagi dengan ditemukannya coretan ini. Mungkin juga anda sedikit terkejut, karena tiba-tiba saya hadir lagi. Atau ada yang menganggapnya biasa karena kebiasaan saya bercoloteh tiap Ramadan. Betul, ini Ramadan ke sembilan, sejak saya memulai kebiasaan ini.
Tahun lalu saya membuat tema sentral "bersatu kita teguh" karena Ramadan saat itu menjadi momentum untuk merajut kembali kesatuan setelah dihadapkan pada sebuah perhelatan Pilpres yang memiliki pernak pernik dan keragaman sikap politik yang perlu dikelola dalam bingkai kesatuan dalam keragaman.
Ramadan kali ini saya melanjutkan dengan tema yang saya sendiri masih mencari maknanya, "Menggali Kesejatian." Mungkin maksud saya, kesejatian itu adalah hal yang sesungguhnya dalam diri, bahasa agamanya adalah: "fitrah". Mungkin juga bermakna bahwa fokus saya pada seri coretan ini adalah bagaimana hal-hal yang sesungguhnya dari dalam diri tampil dominan dalam memandu prilaku sosial kita.
Mengapa saya menggunakan kata "menggali"? Karena kesejatian diri itu bukan hanya tertutupi tapi sering tertimbun, dan harus digali begitu dalam. Yang menimbunnya adalah "kepalsuan". Yang tampil selama ini bisa saja bukan yang sesungguhnya dari diri. Yang ditampilkan adalah diri yang bertopeng. Yang dipakai tak ubahnya adalah "permakan". Yang dijual di publik ibaratnya "barang KW". Yang terbaca oleh orang sekadar "cover"nya.
Itulah, saya ingin mengajak berinteraksi sebatas coretan ini tentang bagaimana kesejatian itu bisa tergali menjadi sesuatu yang tampak pada setiap diri. Bagaimana manusia yang pada dirinya ada kesucian, fitrah, asal-mula, kertas putih, atau apapun namanya bisa keluar mewarnai prilaku dan menjadi tradisi dalam berinteraksi.
Tema ini akan mencoba berselancar pada ragam topik dari contoh kehidupan yang selalu mendahulukan kesejatian dan sebaliknya akan mengulas ragam kepalsuan yang menimbun kesejatian dan menguasai jagat prilaku sosial.
Kesejatian itu sekali lagi bila tertimbun harus digali karena tidak akan muncul dengan sendirinya. Mutiara itu adalah jenis "batu sejati", tidak akan naik ke dasar laut dengan sendirinya, dan harus menyelam ke kedalaman untuk mendapatkannya.
Saya punya batu mutiara yang diberikan oleh seorang kawan dekat. Sesekali saya melihatnya dan membiarkannya tergeletak apa adanya, karena takut ia melekat pada akesesoris yang bukan lagi asli. Ternyata, musuh kesejatian itu adalah "ketercermaran". Sampai bertemu pada subuh berikutnya.
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin