Oleh: Andi Afdal Abdullah
(Dokter / Direktur SDM dan Umum BPJS Kesehatan)
“Allah-lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahannya selain Dia. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 41)
Kita terbiasa melihat langit begitu saja. Biru saat siang, gelap bertabur bintang saat malam. Kita tidak pernah benar-benar bertanya: apa yang menahannya tetap di sana? Seorang ilmuwan akan menjawab, “gravitasi.”
Hukum fisika memastikan bahwa bumi tidak melayang, planet-planet tidak keluar dari orbit, dan galaksi tidak saling bertabrakan dalam kekacauan tanpa arah. Tapi pertanyaan yang lebih dalam adalah: mengapa hukum itu bekerja?
Seorang filsuf mungkin berkata, “karena keteraturan semesta”. Tapi dari mana keteraturan itu muncul? Mengapa tidak ada kekacauan total, mengapa atom-atom membentuk pola, mengapa hidup memiliki hukum yang bisa kita pahami?
Orang-orang terdahulu mungkin menjawab dengan mitos: langit ditopang oleh tiang-tiang raksasa yang tak terlihat, atau dijunjung oleh dewa-dewa yang tak henti bekerja. Tapi Al-Qur’an datang dengan jawaban yang tidak hanya puitis, melainkan juga menohok logika manusia: Allah-lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.
Tauhid bukan sekadar keyakinan bahwa Tuhan itu satu. Ia adalah kesadaran bahwa seluruh keteraturan semesta ini bukanlah kebetulan. Bahwa ada tangan tak terlihat yang menata segalanya. Bahwa kita sendiri, sekuat apapun merasa memiliki kendali, sebenarnya adalah bagian dari sistem yang jauh lebih besar, lebih teratur, lebih mustahil untuk sekadar ada tanpa kehendak yang Mahakuasa.
Coba bayangkan dua garis lurus yang berjalan sejajar. Logika geometri Euclidean mengatakan bahwa jika dua garis benar-benar sejajar, mereka tidak akan pernah bertemu, sekalipun diperpanjang hingga tak terhingga. Tapi dalam geometri non-Euclidean, garis-garis itu bisa bertemu pada titik yang tak terlihat, di luar cakrawala pemahaman manusia.
Begitu juga dengan Tuhan dan dunia. Kita hidup dalam garis-garis keseharian: bekerja, makan, tidur, berpikir, berusaha. Tuhan tampak seperti garis lain, jauh, tidak bersinggungan dengan realitas yang kita alami. Tapi sejatinya, titik pertemuan itu ada, hanya saja berada dalam dimensi yang belum kita capai.
Setiap kali kita shalat, setiap kali kita menahan lapar saat puasa, setiap kali kita menutup mata dan bertanya dalam hati: untuk apa semua ini? —di situlah dua garis itu mendekat.
Kita hidup dalam keteraturan yang menakjubkan. Planet-planet tidak saling bertabrakan, hukum gravitasi tetap bekerja, dan kehidupan tetap berlangsung dengan keseimbangan yang luar biasa. Tetapi, di saat yang sama, kehidupan manusia tampak seperti kumpulan ketidakteraturan: kegagalan yang tak terduga, kehilangan yang tiba-tiba, rencana yang berantakan, harapan yang tak selalu berbuah hasil.
Jika Allah bisa menahan langit tetap tinggi, mengapa kita masih takut bahwa hidup kita akan runtuh? Mungkin jawabannya ada dalam pemahaman kita tentang kendali. Kita sering merasa bahwa kehidupan ini ada di tangan kita sendiri—seolah kita yang menentukan segalanya. Tapi kenyataannya, kita hanya mengatur sebagian kecil dari realitas yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri.
Seorang eksekutif di sebuah perusahaan besar mungkin merasa bahwa ia memiliki kendali penuh atas organisasinya. Ia menyusun strategi, menetapkan target, dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. Tapi kemudian datanglah sesuatu yang tak terduga: perubahan regulasi, krisis ekonomi, pandemi. Semua rencana yang tampak begitu kokoh dalam laporan keuangan dan tabel proyeksi tiba-tiba menjadi tidak relevan.
Betapa banyak pemimpin yang mendadak kehilangan arah ketika mereka menyadari bahwa bukan mereka yang menahan langit organisasi mereka tetap berdiri. Begitu pula dalam kehidupan personal. Kita sering merasa dunia akan runtuh ketika kehilangan sesuatu: pekerjaan, pasangan, harta. Padahal dunia tidak pernah bergantung pada satu kehilangan saja. Langit tetap di sana, matahari tetap terbit, dan hidup terus berjalan.
Kesadaran ini tidak membuat kita menjadi fatalis—sebaliknya, ia justru memberi kita ketenangan. Kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang mengatur segalanya membuat kita bisa menjalani hidup dengan usaha yang maksimal, tetapi tanpa kecemasan yang berlebihan.
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang ulama yang ditanya oleh muridnya, “Bagaimana caranya agar kita bisa tenang menghadapi hidup?” Sang ulama tersenyum, lalu mengambil segenggam pasir dan menggenggamnya erat.
“Lihat tanganku,” katanya. “Saat aku menggenggam pasir ini terlalu erat, pasir-pasir itu justru keluar dari sela-sela jari. Tapi jika aku membiarkannya dengan rileks, pasir itu tetap ada dalam genggamanku.”
Begitulah hidup. Semakin kita merasa ingin mengendalikan segalanya, semakin kita dilanda kecemasan. Tapi saat kita berserah, saat kita memahami bahwa ada yang menahan langit tetap tinggi, maka kita bisa lebih tenang.
Dalam bisnis, dalam organisasi, dalam kehidupan sosial, prinsip ini tetap berlaku. Ada saatnya kita harus menerima bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada sesuatu yang lebih besar.
Maka ketika segalanya tampak kacau, ketika dunia terasa seperti akan runtuh, ingatlah satu hal:
“Allah-lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.” (QS. Fathir: 41)
Sama seperti Allah menahan langit tetap tinggi, Allah pula yang juga menahan hati kita agar tetap teguh.
Wallahu a’lam bish showab