Prosesi ritual adat Mattompang Arajang pada puncak Hari Jadi Bone ke-694 di kompleks Rujab Bupati Bone, Jl. Petta Ponggawae, Kota Watampone, Sabtu (20/4/2024)/ Foto : Dok. Pemkab Bone |
RAKYATSATU.COM, BONE - Mattompang Arajang adalah membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Raja-Raja Bone pada masa lampau dan kegiatan tersebut digelar di Kompleks Rumah Jabatan Bupati Bone, Sabtu (20/4/2024).
Prosesi ritual adat Mattompang Arajang adalah rangkaian puncak Hari Jadi Bone (HJB) ke-694, dihadiri Pj. Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin beserta jajaran, Komisi Kejaksaan Agung RI, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, anggota DPR RI, Ketua dan Anggota DPRD Sulsel, Kapolda Sulsel, Kasrem 141/Tp mewakili Pangdam XIV Hasanuddin, Ketua dan anggota DPRD Bone, Ketua Ikawan DPRD Bone, para Bupati, Wali Kota se Sulsel, Forkopimda, OPD, serta sesepuh Adat, para Raja-Raja Nusantara, para Camat, Lurah dan Desa.
Ritual Mattompang sudah menjadi tradisi tiap tahun pada puncak Hari Jadi Bone untuk membersihkan benda pusaka peninggalan Raja-Raja terdahulu, sehingga benda tersebut tidak berkarat dan rusak. Ritual Mattompang ini sekaligus pelestarian sejarah dan budaya Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
Mengawali acara prosesi Mattompang terlebih dahulu dilakukan Pra Mattompang, yang dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan acara puncak HJB ke-694 digelar, Jum'at (19/04/2024).
Selain itu juga dilaksanakan kegiatan Mallekke Uwwae di Bubung Pitue (mengambil air dari tujuh sumur) dan Massimang (memohon restu dari Pj. Bupati Bone).
Pj. Bupati Bone Drs. H. Andi Islamuddin, MH mengatakan, peringatan Hari Jadi Bone ke-694 ini dilaksanakan dengan tetap mempertahankan nuansa kebersamaan dan kesakralan acara dengan tujuan mengenang kembali semangat historis masyarakat Kabupaten Bone terhadap kejayaan masa lampau.
Dalam memontum Mattompang Arajang ini juga dijadikan refleksi sejarah kebangkitan Bone yang kaya akan nilai kearifan tradisi lokal.
"Mattompang Arajang adalah prosesi untuk membersihkan benda-benda pusaka kerajaan yang juga disebut "Mappepaccing Arajang" yang istilah bugisnya "Pangaderen Dilangiri" secara khusus disebut "Massosoro Arajang", tuturnya.
"Kegiatan ini dimaksudkan bukan untuk mengkultuskan benda-benda yang telah diwariskan kepada kami, namun ini merupakan bentuk penghargaan kami kepada leluhur atas kebesaran yang telah mereka raih," kata A. Islamuddin. [Ikhlas/Sugi]