Oleh: Dr. Eri Satriana, SH., MH.
RAKYATSATU.COM, BONE - Lingkup Kejaksaan Negeri (Kejari) Bone mengalami pergeseran/mutasi personel. Kali ini adalah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bone, Dr Eri Satriana, SH., MH.
Mutasi Dr Eri Satriana dari jabatan eselon III (Kajari Bone) ke jabatan eselon II (di BPKP) membuatnya harus meninggalkan Bumi Arung Palakka, meninggalkan sejumlah catatan atau pun kesan bagi masyarakat Kabupaten Bone, khususnya dalam hal pencerahan dan pemahaman hukum.
Sejak menjadi Kajari Bone, Dr Eri tidak henti-hentinya memberikan pemahaman dan pencerahan hukum sehingga membuat sebagian besar masyarakat Kabupaten Bone berani bersuara dalam hal penegakan hukum terlebih kinerja para jaksa di Kejari Bone.
"Waktu bersama terasa singkat, namun keterbukaan informasi dari Dr Eri Satriana dalam penegakan hukum di Kejari Bone tak mungkin terlupakan. Dr Eri Satriana membuka akses seluas-luasnya dalam mengkritisi kinerja para jaksa di Kejari Bone dalam era kepemimpinannya. Kita berharap, Kajari Bone berikutnya setidaknya dapat mempertahankan hal tersebut. Selamat jalan pak Doktor, pencerahan hukummu menjadi bekal bagi saya," ujar salah seorang masyarakat yang tidak ingin dimediakan namanya.
Sebelum serah terima jabatan (Sertijab) dilaksanakan, Dr Eri Satriana meluangkan waktunya menulis sebuah kisah hidupnya selama bertugas di Bumi Arung Palakka.
Inilah kisah Dr Eri Satriana yang dituangkan dalam tulisan yang dirangkai Rakyatsatu.com.
Senja kali ini terasa berbeda.
Mendung seakan menggulung di langit yang mendengung.
Awan mulai menyingsingkan kerahnya mengungkung bumi Arung Palakka.
Tak terasa bulir hujan turun menetes di dedaunan.
Sejuk hawa terasa.
Suasana mendadak terasa mendayu biru.
Tak terasa waktu telah berlalu.
Sebait sajak di atas barangkali telah dapat menggambarkan bahwasanya tak ada yang kekal, seperti hal pertemuan dan perpisahan adalah rahasia Sang Pencipta Allah SWT, Waktu akan terus berjalan dan sebagai manusia tinggal bagaimana kita akan meninggalkan jejak atasnya.
Seiring dengan turunnya hujan dan suasana yang menenangkan, memori saat pertama kali menjejakkan kaki di bumi Arung Palakka menjadi teringat.
Jumat siang, 11 Oktober 2019 masih teringat jelas ketika mobil yang membawa langkah kaki yang gontai ini melewati gapura bermahkotakan songkok recca kala itu.
Langkah yang gontai tersebut tak ayal disebabkan oleh 159 Kilometer perjalanan yang harus dilalui. Melewati Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Ngarai Camba, dan Cadas Sumpang Labbu. Sendiri tak berkawan dan tak bersaudara dengan siapapun.
Tak terasa waktu itu jarum jam telah menunjuk ke titik kulminasinya. Adzan kumandang waktu dhuhur telah tiba. Akhirnya langkah gontai ini berjalan menuju Masjid Al Markaz Al Ma’arif. Diawali dengan percikan air wudhu, hingga selesainya ibadah sholat Jumat kala itu tak cukup menyeka pikiran yang menyeruak dalam benak. Selama 8 (delapan) provinsi penugasan, inilah kota dengan jarak terjauh dari bandar udara utama. Indonesia sangat luas.
Iringan musik khas Bugis membuyarkan segala gundah dan pikiran yang menyeruak dalam benak. Kesan pertama yang ada hanyalah kehangatan dan keramahan. Seluruh pimpinan daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), para tokoh masyarakat, awak media, dan ditemani para jaksa dan pegawai Kejaksaan Negeri Bone beserta dengan cabang melemparkan senyumnya.
Senyum kehangatan yang akhirnya sedikit melegakan. Sedikitnya ada harapan di tempat tugas baru ini. Harapan itu tertanam dalam benak ini dalam menjalankan tugas di Kejaksaan Negeri Bone.
Awal ketika melaksanakan tugas penegakan hukum, sebagai seorang pimpinan yang harus mengedepankan sikap adaptif saya mulai mengamati apa yang sedang terjadi dalam dinamika di masyarakat. Meskipun lengkap rasanya sudah dilalui semua jabatan dalam Eselon III yang pernah diampu, namun penugasan kali ini memiliki kesan khas tersendiri.
Suatu paradigma baru yang harus ada, pencegahan lebih baik daripada penindakan sesuai dengan politik hukum pemerintah dibidang hukum (Inpres No.1 tahun 2016 ). Etos ini saya coba lontarkan dan sampaikan dalam tataran manajerial yang mana menjadi tugas dan tanggung jawab yang saya ampu kepada internal dan eksternal.
Selain paradigma pencegahan dan penindakan berimbang, terdapat suatu pandangan kendala dimata masyarakat, di mana aparat penegak hukum sering dianggap sebagai sosok yang ditakuti bahkan berkomunikasi saja sulit maka saya coba untuk mengajaknya berdialog memulainya dalam berbagai diskusi dengan siapapun elemen masyarakat.
Ternyata citra aparat penegak hukum kala itu masih tidak sehangat sambutan yang saya terima. Beberapa kali teman-teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Massa, maupun Mahasiswa mengajukan aspirasinya dalam unjuk rasa yang ditujukan kepada kami.
Namun di lain hal ini memiliki arti positif, warga Bone sangat kritis akan kebijakan pemerintah khususnya dalam penegakan hukum.
Masyarakat Bone yang positif, hal ini terlihat dalam beberapa diskusi dengan rekan rekan media, LSM dan sarjana hukum yang menjadi aktivis bahkan beberapa mahasiswa pasca sarjana tempat saya mengajar di Bone dalam bertanya berbagai hal tentang hukum, ini semakin menguatkan hati saya di tengah pikiran dan langkah yang gontai tadi.
Tapi ini juga secara bersamaan menjadi sebuah permasalahan, bagaimana cara menyelesaikannya agar di mana kekuasaan pada kewenangan dapat ditegakkan dan dapat mendapat labelnya kepercayaan (trust) ?
Berpikir dan terus berpikir sambil bekerja yang tentunya tidak dapat berhenti ditempat, lalu setelah berulang kali terpikirkan akhirnya kuncinya mulai terlihat adalah role model.
Gaya kepemimpinan yang adaptif, pembelajar, dan humanis akan mulai meredakan segala gejolak yang ada dalam dada masing-masing karena belum saling mengenal.
Hal ini didukung dengan adanya diskusi-diskusi yang berlangsung diantara kami, mulailah alur berpikir kami satu frame tujuan yaitu membangun daerah yang indah ini melalui penegakkan hukum berimbang (equality law enforcement) dengan mengutamakan proses pencegahan dan penindakan secara berimbang dalam bingkai konsep integritas, transparansi, dan akuntabilitas untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya, tulisan saya sebelumnya di beberapa media online yang selalu menyebutkan kata adanya konsep BONE BAHAGIA, mengapa? karena menurut pandangan ide saya dari kata bahagia itu memiliki nilai filosofis yang tinggi berdasarkan cara berpikir ontologis, epistemologi, dan aksiologi karena rasa kebahagiaan tidak dapat dinilai sebagai obyek material dan hanya memiliki nilai (value) tersendiri yakni kepuasan batiniah seseorang dari pelayanan kekuasaan pada kewenangan dalam tataran alur pikir operasionalnya adalah penegakkan hukum.
Cara berpikir filosofis inilah yang akhirnya mengakrabkan saya dengan teman-teman LSM, wartawan, dan aktivis tanpa mengganggu peran dan kewenangan masing-masing dengan cara saling menghormati. Sungguh terasa membahagiakan membuat saya semakin betah di bumi Arung Palakka ini.
Biasanya kami bertemu di akhir pekan dan diskusi di rumah dinas atau warung kopi yang marak di Watampone atau tempat lainnya tanpa KKN atau rent seeking. Membahas hal ini saya jadi teringat akan suatu pengalaman.
Suatu hari ada rekan elemen masyarakat ingin bertemu penting besok pagi di kantor dan saat sudah di atas jam 10.00 karena keesokan hari saya harus berangkat mengajar ke Jakarta (tentunya sebelum pandemi) maka saya mengundangnya yang bersangkutan bersama kurang lebih 5 orang rekannya ke rumah dinas, dan mereka agak aneh bertanya kenapa harus juga ke rumah dinas malam hari, alasan saya, ini rumah ini kan punya negara yang dibiayai dari pajak dan retribusi dari kalian dan saya hanya menumpang maka silakan datang kan terbuka asal kalian tidak merusak rumah kalian sendiri, candaan itu ternyata membuat mereka akhirnya tersenyum dan akhirnya diskusi itu selesai sekitar jam 02 .00 dini hari jelas suatu pengalaman dan kenangan ini tidak didapatkan di daerah lain waktu bertugas.
Pengalaman-pengalaman ini memberikan suatu hal baru, yang tadinya saya berangkat dengan tidak bertemankan dan bersaudarakan siapapun namun hal tersebut dapat berubah seiring waktu hingga sekarang saya memiliki teman dan saudara di bumi Arung Palakka. Semoga kita akan selalu silaturahmi selamanya.
“Ke Papua membeli sagu, sampai jumpa dilain waktu” para sobatku tidak mungkin melupakan kenangan bersama kalian semua .
Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada, bertemu akan berpisah
Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut, bertemu akan berpisah
Sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Meskipun
Ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
(Endank Soekamti – Sampai Jumpa)
BONE BAHAGIA UNTUK BERJAYA SELAMANYA. (Rasul)