Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, yaitu suatu sistem yang didalam gerakan mencapai tujuan, baik tujuan jangka pendek (resosialisasi), jangka menegah (pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang (kesejahteraan sosial) sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem peradlian pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system).
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang disebut dengan istilah KUHAP), maka Het Herziene Regement (Stbl. 1941 No. 44) sebagai landasan sistem peradilan pidana Indonesia, landasan bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia telah dicabut.
Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dalam praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Di dalam KUHAP telah dijelaskan secara terperinci mengenai tugas-tugas dari mulai kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan (eksekutor) dan hakim sebagai pemutus perkara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, “Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.
Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan rasa keadilan masyarakat.
Keberadaan kewenangan Kejaksaan di Indonesia dalam melakukan penuntutan berkaitan erat dengan Asas Dominus Litis.
Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bekerja setelah ada pelimpahan perkara dari kepolisian.
Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan dibidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam Pasal 13 KUHAP disebutkan bahwa Jaksa merupakan penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim.
Penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang penting dalam hukum acara pidana. Hal ini disebabkan karena proses mencari kebenaran materil sudah diawali dengan proses penyidikan.
Putusan dijatuhkan hakim setelah dilakukan pemeriksaan persidangan yang didasarkan pada berkas perkara hasil penyidikan.
Sebelum pemeriksaan persidangan terdapat proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum dan pembelaan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai rangkaian mencari kebenaran materil.
Penyidikan sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Kedudukan Jaksa dalam penyidikan seharusnya berjalan berdampingan dengan penyidik yang melakukan penyidikan. Posisi Jaksa tersebut memungkinkan Jaksa mengoreksi penyidik.
Sehingga ketika Jaksa sudah mendampingi secara langsung proses penyidikan, diharapkan dapat mempersingkat jalannya hukum acara pidana dan dapat memenuhi alat bukti yang akan dibuktikan dalam persidangan serta dapat menimbang kelayakan dari sebuah perkara.
Narasi di atas juga berlaku bagi para Jaksa yang berada di Kejaksaan Negeri Bone. Kedudukan Jaksa baik dalam perkara tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus atau terhadap tugas lain yang dijalankan berdasarkan undang-undang merupakan contoh nyata adanya asas ini. Oleh karena itu menjadi menarik menilik penerapan asas a quo.
B. MAKNA PRINSIP DOMINUS LITIS
Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti surat dakwaan dan surat tuntutan.
Jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana.
Keberadaan atau eksistensi Kejaksaan sebagai lembaga yang memiliki tugas dan wewenang dalam penuntutan ternyata belum begitu lama, sebelumnya baik di Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain) maupun pada masa-masa kerajaan, masa-masa sebagai jajahan di Indonesia tidak mengenal adanya suatu lembaga penuntutan, sebagaimana tugas kejaksaan saat ini yang secara khusus untuk atas nama atau masyarakat yang mengadakan tuntutan pidana terhadap pelaku delik.
Pada masa itu tidak ada perbedaan antara perdata dan pidana. Pihak yang dirugikan yang melakukan tuntutan pidana kepada hakim. Di Indonesia dahulu dikenal pejabat negara yang disebut adhyaksa yang diartikan sebagai jaksa, akan tetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim karena dahulu tidak dikenal adanya lembaga penuntutan.
Tugas utama Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah penuntutan, dan sebaliknya, penuntutan merupakan kewenangan satu-satunya yang hanya dimiliki oleh kejaksaan, dan tidak dimiliki oleh lembaga lain.
Kewenangan untuk melakukan penuntutan tersebutkan perwujudan dari Prinsip Dominus Litis.
Prinsip Dominus Litis telah diakui secara universal dan tercermin di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independen.
Sejalan dengan prinsip bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (een en ondelbaar), maka tidak ada suatu lembaga pemerintah manapun yang dapat melakukan tugas penuntutan tersebut untuk dan atas nama negara.
Secara bahasa, dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik, sedangkan litis artinya perkara atau gugatan. Hakim tidak bisa meminta supaya delik diajukan kepadanya, namun hakim hanya menunggu penuntutan dari penuntut umum ”.
C. EKSISTENSI PRINSIP DOMINUS LITIS DI INDONESIA
Pada masa penjajahan Belanda, keberadaan Kejaksaan telah ada dalam struktur dan memiliki beberapa fungsi, yaitu : Pertama, berfungsi untuk mengadili perkara pada Pengadilan Padu, Kedua, berfungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara pada Pengadilan Pradata.
Sembilan (9) Legitimasi tersebut didasarkan pada ketentuan perundang-undangan, dimana sebelum berlakunya Herziene Inlandsch Reglement, staatblaad 1941 No.44 (HIR), terlebih dahulu diatur dengan Inlandsch Reglement, staatblaad 1848 No.16 (IR).
Didalamnya disebutkan bahwa pekerjaan penuntut umum di pengadilan negeri dahulu disebut landraad, yang dilaksanakan oleh jaksa.
Setelah berlakunya Herzenie Indlandsch Reglement (HIR), kedudukan jaksa tetap menjadi alat kekuasaan Asisten Residen menjadi sebutan Magistraat (penuntut umum), sedangkan jaksa hanya mendapat sebutan Ajunct Magistraat tanpa perubahan dalam dan tugasnya. Belanda sendiri baru pada tanggal 18 April 1827 ketika berlakunya Rrechterlijke Organisatie en het beleid der justitie, diadakan lembaga penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem Perancis.
Suatu asas yang terpenting dari penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeelbarheid) dan bergantungnya pada kekuasaan eksekutif.
Dengan demikian, dalam masa penjajahan oleh Belanda pada awalnya tidak mengenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri melainkan hanya sebagai asisten atau pembantu, baru setelah IR diubah menjadi HIR barulah dikenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri, yang mengacu pada asas yang sangat penting dalam penuntutan yaitu adanya asas satu dan tidak terpisahkan (een en ondeelbarheid), sebagai pijakan supremasi prinsip dominus litis dalam penuntutan.
Sejak masa pemerintahan Jepang, nampaknya para Jaksa memiliki kembali statusnya yaitu sebagai penuntut umum yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia maka jabatan Asisten Residen segera dihapuskan.
Situasi yang demikian mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua tugas dan wewenang Asisten Residen dalam penuntutan perkara pidana diberikan kepada Jaksa dengan jabatan Tio Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, serta berada dibawah pengawasan KooToo Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan Tinggi.
Selanjutnya dengan Osamurai No. 49, Kejaksaan dimasukkan dalam wewenang Cianbu atau Departemen Keamanan. Dengan demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut umum), dan menjalankan putusan hakim (pegawai eksekusi).
D. PENERAPAN PRINSIP DOMINUS LITIS DI INDONESIA DITINJAU DARI KUHAP DAN UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN
Dalam beracara untuk menyelesaikan terjadinya tindak pidana, setelah Indonesia merdeka digunakan ketentuan perundang-undangan yang mendasarkan pada HIR, namun sejak tahun 1981, khusus untuk hukum acara pidana sudah tidak menggunakan HIR tetapi mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP), dimana didalamnya juga telah mengatur kewenangan Jaksa dalam melakukan penuntutan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang menyebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan yang menjadi kewenangan seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan.
Menurut kentetuan Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang dimaksud jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, penuntut umum juga menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili, yang hal tersebut diatur dalam Pasal 139 KUHAP.
Ditinjau dari segi wewenang penuntutan, boleh dikatakan pada pemeriksaan sidang inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut umum, dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa.
Sementara pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan. (Pasal 1 butir 7 KUHAP).
Beberapa kebijakan yang dirumuskan di dalam KUHAP menjelaskan eksistensi tugas dan wewenang Jaksa terutana dalam melaksanakan penuntutan dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum. Wewenang penuntutan secara limitatif diatur dan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang berhak melakukan itu.
E. PROBLEMATIKA PENERAPAN PRINSIP DOMINUS LITIS DI INDONESIA
Problematika utama penerapan Prinsip Dominus Litis di Indonesia justru terletak pada peraturan perundang-undangan, yaitu di dalam KUHAP. Pasal 138 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
Klausul tersebut mengemukakan bahwa komunikasi atau proses koordinasi dari penyidik dan penuntut umum hanya sebatas persuratan yang didasari oleh berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik.
Atas dasar berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik tersebut penuntut umum memberikan petunjuk, padahal penuntut umum belum tentu mengetahui secara langsung mengenai duduk perkara dan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Adanya kendala tersebut berimbas kepada terjadinya bolak-balik berkas perkara dari penyidik menuju penuntut umum. Penuntut umum akan berpegang terhadap prinsipnya untuk membuktikan kebenaran berkas tanpa mengetahui kejadian sesungguhnya.
Terjadinya hal ini membuat asas peradilan cepat dan biaya ringan akan sulit terpenuhi khususnya terhadap perkara yang memiliki pembahasan yang mendalam.
Disisi lain terdapat Pasal 139 KUHAP yang menjelaskan bahwa setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Klausul pasal tersebut justru memberikan kewenangan maksimal kepada penuntut umum untuk menentukan kendali dari perkara yang dilimpahkan dari penyidik karena bagaimanapun juga penuntut umum memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
F. PENERAPAN PRINSIP DOMINUS LITIS DI KEJAKSAAN NEGERI BONE
Kejaksaan Negeri Bone sebagai salah satu dari satuan kerja pada wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan memberikan solusi dari problematika penerapan prinsip dominus litis pada wilayah hukumnya. Idiom Jaksa sebagai “penguasa perkara” memiliki implikasi ganda.
Di balik kewenangannya yang teramat besar, kompetensi dan peranan jaksa dalam memahami anatomi suatu perkara perlu dikedepankan. Kompetensi yang dimaksud akan menjadi dasar seorang Jaksa untuk memahami secara filosofis, baik epistimologi, ontologi, dan aksiologi, mengenai hakikat suatu perkara.
Contoh nyata dari usaha penerapan dan cara mengatasi problematika tersebut tergambar pada saat adanya koordinasi yang dilakukan oleh penyidik sebelum berkas dilimpahkan kepada Penuntut Umum.
Pada Kejaksaan Negeri Bone, Jaksa dituntut untuk dapat menanggapi konsultasi dan permasalahan yang disampaikan oleh penyidik khususnya yang berasal dari instansi lain sehingga atas konsultasi tersebut arah penyidikan menjadi terarah dan memiliki konstruksi yang jelas.
Terobosan ini senantiasa dilakukan dan contoh nyata yang sudah terjadi adalah proses koordinasi Penyidik pada instansi Kepolisian dan Jaksa.
Outcome yang diharapkan adalah penguasaan atas anatomi perkara ini sudah dipahami oleh seorang Jaksa sedini mungkin dan menghasilkan hasil penyidikan yang komprehensif serta tidak kontradiktif.
Selain dari pada yang tersebut di atas, Kejaksaan Negeri Bone juga memiliki inovasi lain untuk mendukung penerapan asas dominus litis.
Ketika suatu berkas perkara dilimpahkan ke Jaksa Peneliti, maka seorang Jaksa Peneliti yang memberikan petunjuk harus memahami hal-hal sebagai berikut:
1. Anatomi perkara secara komprehensif;
2. Dasar filosofis pasal yang dipersangkakan;
3. Kelengkapan formil dan materil dari berkas perkara dimaksud;
4. Permasalahan yang terdapat dalam berkas perkara dimaksud;
5. Solusi dalam bentuk petunjuk yang diberikan atas permasalahan yang ditemui dari berkas perkara dimaksud;
Kesemuanya dirangkum dalam suatu bahasa hukum yang jelas dan sederhana sehingga memudahkan pemahaman atas petunjuk yang diberikan.
Atas dasar syarat tersebut, pengetahuan dan wawasan awal seorang Jaksa ketika meneliti sebuah perkara tidak bisa hanya “biasa-biasa saja”.
Jaksa harus mengerti apa sesungguhnya yang terjadi dari deskripsi yang muncul dalam suatu berkas perkara. Jaksa pula harus mengerti mengenai kedudukan dasar pasal yang disangkakan. Sehingga ketika terdapat permasalahan yang ada dalam berkas perkara a quo, Jaksa mampu untuk memberikan solusi dan tidak sekedar mengoreksi.
G. PENUTUP
Penerapan asas dominus litis di Kejaksaan sendiri masih memiliki berbagai polemik dan problematik. Namun di samping problematika itu Jaksa sebagai motor dari suatu penegakan hukum dalam suatu sistem hukum yang ada harus mampu memunculkan inovasi yang menguatkan bagaining position. Sehingga Kejaksaan Negeri Bone dalam hal ini memiliki terobosan dengan memberikan konsultasi dan setia berkoordinasi kepada penyidik yang melakukan penyidikan suatu berkas perkara.
Selain itu, dalam penelitian perkara apabila terdapat kekurangan dalam kelengkapan syarat formil dan materiil seorang Jaksa harus memiliki nilai-nilai tertentu dan siap memberikan solusi sebelum mengoreksi hasil penyidikan oleh Penyidik.
Sehingga dihasilkan dengan adanya penerapan asas dominus litis menyebabkan tercapainya tujuan hukum yang memenuhi asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Sementara bagi Jaksa sendiri ini merupakan suatu pertanggungjawaban baik moril maupun materiil yang bersifat proposional dan profesional, karena apapun yang diputuskan oleh Jaksa ketika menangani perkara untuk dimajukan ke pengadilan atau belum dapat dimajukan ke pengadilan akan memiliki argumetasi hukum dan konstruksi berdasarkan asas keadilan dapat dipertanggung jawabkan.
DIRGAHAYU KORPS ADHYAKSA KE-60, SATYA ADHI WICAKSANA