RAKYATSATU.COM, JAKARTA - Petronas Carigali menutup produksi sumur gas di Lapangan Kepodang, Blok Muriah, Jawa Tengah pada tahun 2019, lantaran produksi gas diklaim terus menurun.
Akibat penutupan produksi tersebut, PT Kalimantan Jawa Gas (KJG), anak usaha PGN, mengalami kerugian. Karena sejak tahun 2015, ketika gas mulai diproduksi dan dialirkan melalui jaringan milik KJG, volumenya selalu dibawah kesepakatan.
Pengamat energi yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, menilai kegagalan pengiriman gas sesuai kontrak kesepakatan, seharusnya tidak boleh terjadi. Pasalnya, jika menyalahi kontrak, salah satu pihak tentu akan dirugikan, dalam hal ini PGN.
“Sebetulnya masalah diatas tidak boleh terjadi, kalau kontraknya jelas soal tidak terpenuhi kewajiban, karena tentu berpengaruh terhadap sisi kepastian hukum. Sehingga kalau pun digugat ke jalur arbitrasi sangat wajar. Ahli hukum bidang energi ada di Indonesia, sehingga berani dan mampu menuntaskan kasus di badan arbritase,” ujar Iwa.
Menurut Iwa, apa yang tertuang di kontrak tentu harus disepakati, termasuk skema denda jika terdapat ketidaksesuaian dalam hal pengiriman pasokan gas yang telah disepakati. Jika tidak dipatuhi, menjadi preseden buruk sisi bisnis migas di tanah air. Apalagi jika pemain nasional yang dirugikan.
“Karena kalau tidak diselesaikan secara hukum, maka tentunya akan merusak bisnis dan kepastian migas di sektor hilir, yang cenderung merugikan pihak kita,” tegas Iwa.
Karena itu, agar kasus tuntas dan bisnis di sektor hilir mendapat kepastian, dimana dari sisi nilai investasi yang dikeluarkan juga tidak kecil, diperlukan ketegasan dari semua pihak, baik pemerintah, hingga SKK Migas . Aspek regulasi juga diperjelas, diperkuat, dan sederhana. “Juga, jangan banyak tangan terlibat,” tandasnya.
Agar kasus serupa tidak terulang, dari industri nasional tidak dirugikan, sudah seharusnya ketika kerjasama dilakukan dipastikan betul dari sisi pasokan, karena kapasitas pipa dibangun berdasarkan rencana supply. Jangan sampai salah satu pihak membangun pipa dengan investasi besar, justru pasokan tidak tersedia. Harus di investigasi kemampuan pasokan sebenarnya.
“Agar tidak terulang, kata Iwa, perlu ada konsistensi SKK Migas terhada kontrak-kontrak dan ketegasan kalau terjadi ketidak sesuaian, pengiriman pasokan gas,” tegasnya.
Seperti diketahui,PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) melanjutkan proses arbitrase untuk menuntut pembayaran dari Petronas atas penghentian produksi gas dari Lapangan Kepodang. Nilai tuntutan pembayaran yang diminta PGN dari kewajiban ship or pay (SOP) mencapai US$ 149 juta atau setara Rp 2,12 triliun. Ketentuan SOP adalah bentuk penjaminan investasi yang harus dibayarkan jika penyaluran gas tidak sesuai kontrak.
Dalam Gas Transportation Agreement (GTA), jumlah gas yang harusnya disalurkan Petronas ke Pipa Kalija I milik anak usaha PGN, PT Kalimantan Jawa Gas (KJG), mulai dari 2015 sebesar 104 mmscfd dengan ketetapan SOP. Namun Petronas tidak pernah memenuhi ketentuan penyaluran gas yang telah disepakati.
Rinciannya, pada tahun 2015 realisasi penyaluran gas hanya 86,06 mmscfd, tahun 2016 hanya 90,37 mmscfd, dan pada 2017 hanya sebesar 75,64 mmscfd. Disamping itu, karena rencana penghentian produksi gas oleh Petronas sejak 2019, PGN juga menuntut total penerimaan toll fee dari tahun 2020 sampai dengan kontrak berakhir.
PGN melalui Saka Energi Muriah Ltd, kini juga telah mengambil alih 80% hak partisipasi production sharing contract (PSC) Muriah dari Petronas Carigali Muriah Ltd. Kini, Saka Energi menjadi operator blok gas di wilayah kerja yang berlokasi di Lapangan Kepodang, lepas pantai Jawa Timur tersebut dengan kepemilikan 100%. Aksi korporasi ini resmi disepakati pada 31 Januari 2020 melalui penandatanganan Deed of Assignment (DoA) antara Saka Energi Muriah dengan Petronas Carigali.
“Petronas Carigali tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang timbul sebelum pengunduran dirinya sebagai operator dan penyerahan kepemilikannya atas 80% hak partisipasi,” jelas Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama. (Rls)